Oleh : Mas
Jay
Presiden Joko Widodo menyatakan,
demokrasi di Indonesia saat ini sudah kebablasan. Pernyataan dalam pidato saat pengukuhan
Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (22/2) itu menjadi perbincangan
publik. Demokrasi dianggap sudah sampai ke titik maksimal,bahkan melampauinya. Karena itu,
yang terjadi adalah kondisi demokrasi yang tidak ideal atau bahkan kekacauan. Apakah
kesimpulan ini memiliki dasar teoretis dan mencerminkanpendapat umum? Konsolidasi demokrasi
Benarkah demokrasi Indonesia sudah sampai ke atas terjauh? Freedom House adalah
lembaga pemeringkat kebebasan yang paling sering jadi rujukan. Menurut lembaga ini, sejak
2013, Indonesia kembali masuk era partly free setelah sebelumnya ada di posisi fully free.
Alih-alih sampai ke level terjauh seperti dialami negara yang mapan dalam demokrasi,
Indonesia kini malah mundur dalam kualitas demokrasi dilihat dari unsur yang terpenting:
kebebasan. Walaupun mundur dalam kualitas demokrasi, di antara negara-negara
Asia Tenggara, Indonesia terdepan dalam hal demokrasi dan kebebasan sipil.
Indonesia bahkan satu di antara sedikit negara Asia yang menganut sistem demokrasi elektoral. Tentu saja, dibandingkan dengan negara-negara yang sudah mapan
dalam demokrasi, seperti Eropa Barat, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia
Baru, kualitas demokrasi kita masih tertinggal. Dengan
demikian, pernyataan bahwa demokrasi Indonesia kebablasan yang artinya sudah pernah sampai ke
titik terjauh tidak mendapat legitimasi teoretis dan faktual. Sekarang malah
kualitas demokrasi kita mundur. Menurut Juan Linz dan Alfred Stepan, se buah
rezim demokratis disebut terkonsolidasi jika ia memenuhi tiga unsur. Pertama,
unsur behavioral: tak ada aktor politik dominan yang mencoba meraih ambisi kekuasanya
dengan menciptakan rezim non demokratis. Kedua, unsur sikap: mayoritas warga
percaya bahwa prosedur dan institusi demokrasi adalah cara terbaik meraih
kekuasaan. Ketiga, aspek konstitusional baik pemerintah maupun kekuatan nonpemerintah
bisa menyelesaikan sengketa dalam ruang hukum. Demokrasi terkonsolidasi jika ia
menjadi satu-satunya prosedur dalam meraih kekuasaan, Dalam bahasa Linz dan
Stepan, it is the only game in town. Dari aspek behavioral, hampir tak ada
gerakan dominan di masyarakat yang mencoba mengganti sistem demokrasi. Kekuatan
politik dominan sejauh ini masih sepakat berkompetisi dalam ruang demokrasi. Satu satunya kelompok yang terang-terangan memobilisasi warga menolak demokrasi
hanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, pengaruh mereka tak signifikan.
Pada aspek sikap, mayoritas mutlak warga Indonesia tak tertarik dengan gagasan
mengganti sistem demokrasi. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC) menunjukkan bahwa dukungan pada demokrasi sangat tinggi. Sekitar 68
persen warga menyatakan, walaupun tidak sempurna, demokrasi adalah sistem
politik terbaik. Jika demokrasi kebablasan berarti demokrasi keluar dari
jalur, pandangan ini juga tak memiliki basis dukungan publik. Mayoritas publik
Indonesia justru menilai demokrasi kita saat ini sudah berjalan di jalur yang
benar. Survei nasional SMRC yang dilakukan berkala menunjukkan dukungan yang
konsisten bahwa demokrasi berjalan di jalur yang semestinya (78 persen pada
survei November 2016). Selain menganggap demokrasi sebagai sistem terbaik dan
sekarang berjalan pada jalur yang benar, publik juga mengapresiasi pemerintah
yang menjalankan sistem ini. Tingkat kepuasan publik pada pemerintah, yang
dalam hal ini diwakili oleh presiden, masih cukup tinggi, yakni 79 persen (survei November 2016). Hal ini berbeda dengan negara-negara demokratis lain. Pada
banyak negara, umumnya publik sangat kritis dan skeptis terhadap jalannya
pemerintahan. Mereka anti pati pada penyelenggara negara dan parpol. Namun,
tingkat penerimaan pada demokrasi sebagai sistem terbaik masih sangat tinggi.
Fenomena di mana warga kritis pada penyelenggara sistem demokrasi tetapi
percaya pada sistem oleh Pippa Norris dan kawan-kawan disebut fenomena critical
citizens. Dalam hal ini, Indonesia tampak belum berada dalam kondisi itu. Yang
terjadi adalah kondisi sempurna di mana warga menerima demokrasi sebagai sistem
terbaik dan menganggap sistem ini dijalankan secara benar. Kekhawatiran
presiden dan para elite lain tentang demokrasi yang kebablasan lagi-lagi tidak
ada dasar dalam persepsi publik. Populisme Lalu dari mana narasi kebablasan itu
muncul? Kemungkinan besar dari tendensi populisme elite. Tulisan Sheri Bermen
di Foreign Affairs (November/Desember 2016), ”Popu lism is not Fascism”,
menjelaskan perbedaan antara fasisme dan populisme dalam hubungan nya dengan
demokrasi. Tak sedikit yang menganggap populisme sama dengan fasisme karena
muncul dari krisis yang melahirkan narasi pembelaan terhadap kepentingan
bangsa. Mereka mengandaikan ada kekuatan luar yang hendak menghancurkan negeri
dan mereka lahir untuk melawan dan melindungi. Ada ”kita” yang diserang dan
perlu mempertahankan diri, ada ”mereka” yang menyerang sebagai musuh. Pada
tataran itu, tampak bahwa para fasis dan populis menggunakan narasi yang mirip.
Menjadi berbeda jika kita melihat bagaimana mereka memperlakukan sistem
demokrasi. Para fasis menganggap demokrasi bagian dari ancaman atau se tidaknya
memperlemah posisi bangsa. Karena itu, yang pertama mereka hancurkan ketika berkuasa adalah sistem demokrasi, diganti dengan otoritarianisme. Sebaliknya, kaum
populis datang dengan gagasan bahwa demokrasi ada dalam bahaya atau setidaknya
sedang tidak dalam kondisi baik. Tuntutan utama mereka adalah memulihkan
demokrasi yang mereka anggap se dang sakit. Di sini, narasi ”demokrasi
kebablasan” mendapat tempat. Merek ingin mendudukkan demokrasi yang keluar rel
kembali ke jalur yang benar. Persoalannya, jalur demokrasi yang benar itu ada
dalam persepsi para elite. Mereka mengandaikan tata kehidupan ideal yang jika
itu tak terjadi, mereka merasa berhak mewujudkannya dengan menggunakan aparat
yang mereka kuasai. Di sana, elite yang memiliki otoritas akan mulai
meng intervensi kehidupan warga. Mereka mengintervensi percakapan dan gagasan
warga. Mereka menentukan yang baik dan yang buruk bagi warga. Maka, akan muncul
sensor percakapan publik. Media dibatasi. Film disensor. Gambar-gambar media
diburamkan. Jurnalis ditangkap. Ekspresi be ragama dibatasi. Jika itu yang terjadi,
bukan tak mungkin predikat kita sebagai negara partly free akan semakin
tenggelam ke unfree. Kericuhan yang terjadi belakangan ini tidak bisa diselesaikan
dengan mengurangi kebebasan dasar yang menjadi fondasi tegaknya demokrasi. Yang
perlu dilakukan justru memperluas kebebasan dengan menjamin hak setiap warga untuk tidak diperlakukan semena mena oleh orang lain atas dasar apa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar