Membumikan Nilai-Nilai Pancasila
Oleh:
Mas Jay
Dalam satu dekade terakhir ini, kehidupan berbangsa silih
berganti diuji dengan berbagai peristiwa yang rentan mengancam kekokohan
pondasi Pancasila sebagai falsafah negara. Padahal, sebagai sebuah produk sejarah,
Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa yang mengakomodasi kemajemukan
sebagai satu-satunya asas yang paling cocok untuk menopang nilai-nilai
kebhinekaan.
Maraknya aksi kekerasan, gerakan separatis, dan tindakan
radikal lain yang mengusung semangat agama dan ideologi tertentu cukup
menghawatirkan. Betapa tidak, negara yang dibangun di atas heterogenitas SARA
ini semakin hari digoyang oleh semangat primordialisme sempit. Bahkan, aksi
kekerasan yang seringkali mengatas-namakan agama tentu saja cukup bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila.
Salah satu isu lama yang kerap menyeruak ke permukaan yakni
soal keinginan sejumlah kelompok yang ingin menegakkan kembali syariat Islam
dan khilafah Islamiyah sebagai hukum negara. Padahal kontroversi soal negara
Islam, baik sebagai gerakan ideologi politik maupun sebagai sebuah gagasan,
menunjukkan bahwa Islam (agama) sebagai dasar negara mendapat penolakan dan
resistensi oleh semua elemen bangsa.
Banyak pihak menyangsikan substansi dan relevansi gagasan
negara Islam bagi Indonesia karena ketidak-mungkinan konsep tersebut diwujudkan
dalam hukum positif. Terlebih, jika semangat mendirikan negara Islam
termanifestasi dalam suatu gerakan politik, maka tindakan semacam itu
senyatanya makar yang mengancam kedaulatan bangsa.
Disamping sentimen keagamaan, gerakan lain berbasis sintimen
primodialisme lokal yang ingin memisahkan diri dari kesatuan republik Indonesia
juga kerap muncul ke permukaan. Sebut saja misalnya seperti kasus Organisasi
Papua Merdeka seringkali melakukan manuver untuk melepaskan diri dari NKRI.
Gerakan ini menuding pemerintah pusat tidak pernah memperhatikan nasib dan masa
depan mereka hingga akhirnya gerakan ini berujung pada tindakan provokatif
untuk menjadi Papua merdeka.
Padahal, Pancasila sebagai sebuah ideologi negara, secara
aklamasi sudah diterima semua golongan semua kelompok kepentingan. Hal ini
disebabkan karena Pancasila mempunyai kemampuan mempersatukan masyarakat plural
yang memiliki potensi konflik dan perpecahan.
Pada konteks inilah, dalam rangka merawat ingatan publik
tentang pentingnya Pancasila, maka momentum hari Kesaktian Pancasila yang
diperingati setiap 1 Juni sangat relevan untuk terus dikumandangkan. Dengan
cara demikian, konsep tersebut akan senantiasa hidup dalam memori kolektif
publik.
Aktualisasi Pancasila
Douglas E. Ramagedalam Politics in Indonesia: Democracy,
Islam and the Ideology of Tolerance(1995), menyebutkan bahwa Pancasila
merupakan idiologi pengayom bagi ragam polarisasi idiologi dan agama di
Indonesia. Pancasila kemudian dimaknai sebagai titik kompromi antara kekuatan
nasionalisme sekuler dan Islam.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila merupakan
jalan tengah dari segenap kepentingan. Ketuhanan yang Maha Esa yang termaktub
dalam sila pertama dapat dimaknai sebagai titik temu dari semua kepentingan
politik bangsa. Dengan rumusan ini, maka Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai
negara sekuler yang melepaskan agama dari kehidupan politik. Sebab, dalam batas
tertentu agama inhern dalam kehidupan bernegara. Indonesia juga bukan
negara agama yang menjadikan agama sebagai konstitusi dan hukum positif.
Sebagai implikasi dari pengakuan terhadap sila pertama ini,
sejatinya setiap rakyat melaksanakan harmoni terutama dengan memupuk rasa
persaudaraan antar sesama golongan guna membangun Indonesia yang beradab.
Meski begitu, dalam konteks masyarakat modern sikap-sikap
arogan, superior, rasialistik dan pengkotak-kotakan manusia berdasarkan dugaan
keunggulan ras, bangsa, keturunan bahkan agama seringkali terjadi. Banyak
kekerasan dan pertikaian disebabkan oleh perasaan lebih unggul dari yang lain.
Tak tekecuali di Indonesia, sejumlah tragedi kemanusiaan
masa lalu yang terjadi diakibatkan oleh perasaan superior dan rasialistik atas
kelompok lain. Konflik antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan, konflik
agama di Ambon, Maluku dan Poso, kerusuhan anti etnis China di Jakarta, Solo,
dan Medan serta diskriminasi terhadap penganut agama minoritas tertentu menjadi
bukti betapa perasaan superior masih menjadi pemicu terjadinya tragedi
kemansiaan.
Dalam konteks inilah kemudian menjadi penting untuk
menginternalisasi niali-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Yaitu, sebuah
semangat untuk menghapus cara pandang dan sikap rasialisitik serta memandang
rendah kelompok lainnya yang didasarkan suku, agama, ras dan keturunan mestinya
harus mulai dihapuskan.
Dalam bukunya, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan(1993),
Nurcholis Madjid mengatakan bahwa ajaran etis sosial yang utama dalam ajaran
agama adalah faham egaliter. Yakni, penempatan posisi manusia pada posisi yang
setara, sama, dan memiliki harkat dan martabat yang sama. Oleh karena itu,
segala tindaandiskriminatif harus dimusnahkan dari muka bumi. Karena agama
memberikan legitimasi moral etis untuk membangun masyarakat yang egaliter.
Munculnya gerakan radikal berbasis agama dan merebaknya
tuntutan untuk memerintah sendiri (separatis) di berbagai daerah yang bersamaan
dengan spirit otonomi daerah dengan jelas mengungkap kenyataan bahwa problem
Indonesia dewasa ini cukup kompleks. Jika tidak di akomodasi dengan baik, benih
konflik dan gerakan radikal akan mengancam NKRI.
Untuk itulah, salah satu solusinya adalah membumikan dan
mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Pancasila. Sebagai bangsa yang
berketuhanan, mestinya segala tindakan harus didasarkan pada etika dan keadaban
demi menjunjung tinggi semangat humanisme universal yang sudah dijamin
Undang-Undang. Seperti yang jamak difahami, agama sejatinya dijadikan sebagai
landasan moral etis dalam melakukan interaksi sosial. Menjadi manusia seutuhnya
bukan semata menjadi baik secara personal melainkan mampu memberikan harapan
kepada masyarakat lainnya untuk membangun Indonesia yang damai dan bermantabat.
Apalagi di zaman modern dengan tingkat demokrasi terbuka,
seharusnya penindasan dalam bentuk apapun harus dimusnahkan. Sekat-sekat
primordialisme sempit harus mulai dikikis demi menjunjung tinggi rasa
kemanusiaan yang hakiki, yaitu sebuah makhluk yang bebas dan merdeka. Bebas
dalam menjalankan hak-hak individualnya seperti kebebasan beragama serta
merdeka dari penjajahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar