Kilas Balik UUD Negara RI
Oleh : Mas
Jay
Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Dokuritsu Junbii Chōsakai) adalah sebuah badan yang
dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang
pada tanggal 1 Maret 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar
Hirohito.
Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia
dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia.
BPUPKI beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.)
Radjiman Wedyodiningrat
dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang)
dan Raden Pandji
Soeroso.
Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata Usaha
(semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini
dipimpin oleh Raden Pandji
Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel
Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang).
Tugas dari BPUPKI sendiri adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang
berkaitan dengan aspek-aspek politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal
yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia
merdeka.
Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI
Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik
semakin jelas, Perdana Menteri Jepang,
Jenderal
Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September
1944
mengumumkan bahwa Indonesia akan dimerdekakan kelak, sesudah tercapai kemenangan
akhir dalam perang Asia Timur Raya. Dengan cara itu, Jepang
berharap tentara Sekutu
akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada
tanggal 1 Maret
1945 pimpinan
pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada,
mengumumkan dibentuknya suatu badan khusus yang bertugas menyelididki
usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI)
atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai.
Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan
hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata pemerintahan guna
mendirikan suatu negara Indonesia merdeka.
BPUPKI resmi dibentuk pada tanggal 1 Maret
1945,
bertepatan dengan ulang tahun kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk menjadi ketua
BPUPKI dengan didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji
Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang).
Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga diangkat sebagai kepala kantor tata
usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel
Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggotakan 69 orang, yang
terdiri dari: 62 orang anggota aktif adalah tokoh utama pergerakan
nasional Indonesia
dari semua daerah dan aliran, serta 7 orang anggota istimewa adalah
perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang,
tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara (keanggotaan mereka
adalah pasif, yang artinya mereka hanya hadir dalam sidang BPUPKI sebagai
pengamat saja). Selama BPUPKI berdiri, telah diadakan dua kali masa persidangan
resmi BPUPKI, dan juga adanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi oleh panitia
kecil di bawah BPUPKI, yaitu adalah sebagai berikut :
Sidang resmi pertama
Persidangan
resmi BPUPKI yang pertama pada tanggal 29 Mei-1 Juni
1945. Pada
tanggal 28 Mei
1945, diadakan
upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI
yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada zaman
kolonial Belanda
gedung tersebut merupakan gedung Volksraad
(dari bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan Perwakilan Rakyat Hindia
Belanda" pada masa penjajahan Belanda),
dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila,
yang berlokasi di Jalan Pejambon 6 – Jakarta.
Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan BPUPKI yang pertama)
diadakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan harinya, yakni pada
tanggal 29 Mei
1945, dan
berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia,
filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.
Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan
BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI dan juga dua orang
pembesar militer jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang
menguasai Jawa
serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano.
Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu sendiri, yang
berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI.
Sebelumnya agenda sidang diawali dengan membahas pandangan
mengenai bentuk negara Indonesia, yakni disepakati berbentuk "Negara
Kesatuan Republik
Indonesia" ("NKRI"), kemudian agenda
sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus merumuskan dasar negara Republik
Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai isi dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang Dasar adalah merupakan konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Guna mendapatkan rumusan dasar negara Republik
Indonesia yang benar-benar tepat, maka agenda acara dalam masa
persidangan BPUPKI yang pertama ini adalah mendengarkan pidato dari tiga orang
tokoh utama pergerakan nasional Indonesia,
yang mengajukan pendapatnya tentang dasar negara Republik
Indonesia itu adalah sebagai berikut :
1.
Sidang
tanggal 29 Mei
1945, Mr. Prof.
Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan
lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri
Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
2.
Sidang
tanggal 31 Mei
1945, Prof. Mr. Dr.
Soepomo berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima prinsip
dasar negara Republik
Indonesia, yang dia namakan "Dasar Negara Indonesia
Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat dan
Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
3.
Sidang
tanggal 1 Juni
1945, Ir. Soekarno
berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik
Indonesia, yang dia namakan "Pancasila",
yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan;
3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik
Indonesia yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno
tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila",
masih menurut dia bilamana diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila
ini dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga
Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan
Yang Berkebudayaan”. Bahkan masih menurut Ir. Soekarno
lagi, Trisila tersebut bila
hendak diperas kembali dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu
Sila), yaitu merupakan sila: “Gotong-Royong”, ini adalah merupakan
upaya dari Bung Karno
dalam menjelaskan bahwa konsep gagasan mengenai rumusan dasar negara Republik
Indonesia yang dibawakannya tersebut adalah berada dalam kerangka
"satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu dengan lainnya.
Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan sebutan detik-detik
lahirnya Pancasila
dan tanggal 1 Juni
ditetapkan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa persidangan BPUPKI
yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses persidangan (periode jeda
atau istirahat) selama satu bulan lebih. Sebelum dimulainya masa reses
persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang beranggotakan 9 orang, yang
dinamakan "Panitia Sembilan" dengan diketuai oleh Ir. Soekarno,
yang bertugas untuk mengolah usul dari konsep para anggota BPUPKI mengenai
dasar negara Republik
Indonesia.
Masa antara sidang resmi pertama dan sidang resmi kedua
Naskah Asli
"Piagam Jakarta" atau "Jakarta
Charter" yang dihasilkan oleh "Panitia Sembilan"
pada tanggal 22 Juni
1945
Sampai akhir dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, masih
belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik
Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga dibentuklah "Panitia
Sembilan" tersebut di atas guna menggodok berbagai masukan dari
konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan oleh para anggota BPUPKI itu.
Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia Sembilan" ini adalah
sebagai berikut :
1.
Ir. Soekarno
(ketua)
2.
Drs. Mohammad
Hatta (wakil ketua)
3.
Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
4.
Mr. Prof.
Mohammad Yamin, S.H. (anggota)
5.
Kiai Haji
Abdul Wahid Hasjim (anggota)
6.
Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
7.
Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota)
8.
Haji Agus
Salim (anggota)
9.
Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang
dari kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis")
dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak "Islam"), maka
pada tanggal 22 Juni
1945 "Panitia
Sembilan" kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara Republik
Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam
Jakarta" atau "Jakarta
Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai
sebuah "Gentlement Agreement". Setelah itu
sebagai ketua "Panitia Sembilan", Ir. Soekarno
melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada anggota BPUPKI
berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia
Merdeka" yang disebut dengan "Piagam
Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik
Indonesia adalah sebagai berikut :
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan,
Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam
masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli
1945.
Di antara dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung
pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang anggota BPUPKI. Persidangan
tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno
yang membahas mengenai rancangan "Pembukaan (bahasa
Belanda: "Preambule") Undang-Undang Dasar 1945", yang kemudian
dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli
1945).
Sidang resmi kedua
Persidangan
resmi BPUPKI yang kedua pada tanggal 10 Juli
- 14 Juli
1945. Masa
persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 hingga tanggal 14 Juli
1945. Agenda
sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, kewarganegaraan Indonesia,
rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan,
pembelaan negara, serta pendidengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang kedua
ini, anggota BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil. Panitia-panitia
kecil yang terbentuk itu antara lain adalah:
Panitia Perancang
Undang-Undang Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno),
Panitia Pembelaan
Tanah Air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan
Panitia Ekonomi
dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad
Hatta).
Pada tanggal 11 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno,
membahas pembentukan lagi panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah
khusus merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang
yaitu sebagai berikut :
1.
Prof. Mr. Dr.
Soepomo (ketua panitia kecil)
2.
Mr. KRMT
Wongsonegoro (anggota)
3.
Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)
4.
Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
5.
Mr. Raden Panji Singgih
(anggota)
6.
Haji Agus
Salim (anggota)
7.
Dr. Soekiman Wirjosandjojo (anggota)
Pada tanggal 13 Juli 1945, sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno,
membahas hasil kerja panitia kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus
merancang isi dari Undang-Undang Dasar, yang beranggotakan 7 orang
tersebut.
Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang
Undang-Undang Dasar, yang dibacakan oleh
ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas mengenai
rancangan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya tercantum
tiga masalah pokok yaitu :
2.
Batang
tubuh Pernyataan tentang Indonesia Merdeka
3.
Pembukaan
Undang-Undang Dasar yang kemudian dinamakan
sebagai "Undang-Undang Dasar 1945", yang
isinya meliputi :
a) Wilayah negara Indonesia
adalah sama dengan bekas wilayah Hindia
Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya,
Borneo
Utara (sekarang adalah wilayah Sabah dan wilayah Serawak
di negara Malaysia,
serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua, Timor-Portugis
(sekarang adalah wilayah negara Timor Leste),
dan pulau-pulau di sekitarnya,
b) Bentuk negara Indonesia
adalah Negara Kesatuan,
d) Bendera nasional
Indonesia
adalah Sang Saka Merah Putih,
e) Bahasa nasional Indonesia
adalah Bahasa Indonesia.
Konsep proklamasi kemerdekaan negara Indonesia
baru rencananya akan disusun dengan mengambil tiga alenia pertama "Piagam
Jakarta", sedangkan konsep Undang-Undang Dasar hampir seluruhnya diambil
dari alinea keempat "Piagam
Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus berlanjut di
antara peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan aturan Islam, Syariat Islam,
dalam negara Indonesia
baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta
Charter" pada akhirnya disetujui dengan urutan dan
redaksion yang sedikit berbeda.
Persiapan kemerdekaan dilanjutkan oleh PPKI
Persidangan
resmi PPKI pada tanggal 18 Agustus
1945, Pada
tanggal 7 Agustus
1945, BPUPKI
dibubarkan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik,
yaitu menyusun rancangan Undang-Undang Dasar bagi negara Indonesia
Merdeka, dan digantikan dengan dibentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang:
Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno
sebagai ketuanya.
Tugas "PPKI" ini yang
pertama adalah meresmikan pembukaan (bahasa
Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Tugasnya yang kedua
adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI, mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari
pihak pemerintah pendudukan militer Jepang
kepada bangsa Indonesia, dan mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut
masalah ketatanegaraan bagi negara Indonesia
baru.
Anggota PPKI sendiri terdiri
dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia,
sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia
Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera,
2 orang asal Sulawesi,
1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku,
1 orang asal etnis Tionghoa. PPKI ini diketuai oleh
Ir. Soekarno,
dan sebagai wakilnya adalah Drs. Mohammad
Hatta, sedangkan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, anggota PPKI ditambah lagi
sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema,
Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Mohamad Ibnu
Sayuti Melik, Iwa Koesoemasoemantri, dan Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.
Secara simbolik PPKI dilantik oleh Jendral Terauchi, pada
tanggal 9 Agustus
1945, dengan
mendatangkan Ir. Soekarno,
Drs. Mohammad
Hatta dan Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat ke Kota Ho Chi Minh atau dalam bahasa
Vietnam: Thành phố Hồ Chí Minh (dahulu bernama: Saigon), adalah kota terbesar di negara Vietnam
dan terletak dekat delta Sungai Mekong.
Pada saat PPKI terbentuk,
keinginan rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak. Memuncaknya
keinginan itu terbukti dengan adanya tekad yang bulat dari semua golongan untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia.
Golongan muda kala itu menghendaki agar kemerdekaan diproklamasikan tanpa
kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang
sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang "PPKI". Pada saat
itu ada anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI" ini adalah
hanya merupakan sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang.
Di lain pihak "PPKI" adalah
sebuah badan yang ada waktu itu guna mempersiapkan hal-hal yang perlu bagi
terbentuknya suatu negara Indonesia baru.
Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia
bisa diberikan oleh pemerintah pendudukan militer Jepang
adalah tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari PPKI. Jendral Terauchi kemudian
akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang
bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus
1945. Seluruh
persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia
diserahkan sepenuhnya kepada PPKI. Dalam suasana
mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah PPKI harus bekerja
keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan keinginan atau cita-cita luhur
seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan rindu akan sebuah kehidupan
kebangsaan yang bebas, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ir. Soekarno
membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia yang sudah diketik oleh Mohamad Ibnu
Sayuti Melik dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta
Sementara itu dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus
1945, dalam
hitungan kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas
lobi-lobi politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama non-Muslim
serta pihak kaum keagamaan yang menganut ajaran kebatinan, yang kemudian
diikuti oleh pihak kaum kebangsaan (pihak Nasionalis)
guna melunakkan hati pihak tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna
dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam
Jakarta atau Jakarta
Charter.
Setelah itu Drs. Mohammad
Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI" dan
membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas lobi-lobi
politik tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai pembukaan
(bahasa
Belanda: preambule) dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yang saat ini
biasa disebut dengan hanya UUD 1945 adalah :
a) Pertama, kata “Mukaddimah”
yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.
b) Kedua, anak kalimat
"Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, diganti dengan,
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
c) Ketiga, kalimat yang
menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”,
seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata
“dan beragama Islam”.
d) Keempat, terkait
perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula
berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan
Syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi: “Negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
PPKI sangat berperan
dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun kelompok muda kala itu hanya menganggap
PPKI sebagai sebuah
lembaga buatan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang,
namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta jasa badan ini sama sekali
tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita lupakan. Anggota PPKI telah menjalankan
tugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya, hingga pada akhirnya
PPKI dapat meletakkan
dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat bagi negara Indonesia
yang saat itu baru saja berdiri.
Periode berlakunya UUD 1945 (18
Agustus 1945 - 27 Desember 1949)
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat
dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober
1945 memutuskan
bahwa kekuasaan legislatif diserahkan kepada KNIP , karena MPR dan DPR
belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945, dibentuk Kabinet
Semi-Presidensial ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga
peristiwa ini merupakan perubahan pertama dari sistem pemerintahan Indonesia
terhadap UUD 1945.
Periode berlakunya Konstitusi RIS
1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah
parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi
yaitu negara yang di dalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing
masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam
negerinya. Ini merupakan perubahan dari UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa
Indonesia adalah Negara Kesatuan.
Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 -
5 Juli 1959)
Pada periode UUDS 1950 ini diberlakukan sistem Demokrasi
Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula
kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar,
masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami
rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS
1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan
jiwa Pancasila dan UUD 1945. Beberapa aturan pokok itu mengatur bentuk negara,
bentuk pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan sistem pemerintahan Indonesia
Periode kembalinya ke UUD 1945 (5
Juli 1959 - 1966)
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana
banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan
UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekret Presiden yang salah satu isinya
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di
antaranya:
Ø Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA
serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
Ø MPRS menetapkan Soekarno
sebagai presiden seumur hidup
Periode UUD 1945 masa orde baru (11
Maret 1966 - 21 Mei 1998)
Pada masa Orde Baru
(1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila
secara murni dan konsekuen.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga
menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah
peraturan:
Ø Ketetapan MPR
Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
Ø Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan
bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta
pendapat rakyat melalui referendum.
Ø Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1983.
Periode 21 Mei 1998 - 19 Oktober
1999
Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden
Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
Periode Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya
perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD
1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya
bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya
pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan
multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan
dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan,
eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai
dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan
kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya
lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta
mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali
perubahan (amendemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
Ø Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober
1999 : Perubahan Pertama UUD 1945
Ø Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus
2000 : Perubahan Kedua UUD 1945
Ø Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November
2001: Perubahan Ketiga UUD 1945
Ø Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus
2002 : Perubahan Keempat UUD 1945
Tidak ada komentar:
Posting Komentar