Rabu, 14 Maret 2018

PANCASILA DI ERA GLOBALISASI



PANCASILA DI ERA GLOBALISASI
(oleh : Mas Jay)

Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dinilai telah melenceng jauh bahkan sudah tidak sesuai dengan filosofi kenegaraan yang dibangun para pendiri bangsa. Pancasila justru terpinggirkan oleh fragmatisme yang kian subur di masyarakat Indonesia.Indonesia memang sedang mengalami degradasi nilai-nilai moral sekaligus mengalami krisis keteladanan, yang sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam menghadapi serangan globalisme.
Sebenarnya Indonesia punya senjata yang ampu untuk mengadang segala serangan paham, baik liberalisme yang lebih menekankan paham individualis maupun komunisme, yaitu  Pancasila. Namun, sayangnya, bangsa ini lebih senang meng-copy paste tradisi dari bangsa asing. Bahkan sejak Era Reformasi, Pancasila tidak lagi mendapat tempat yang layak, baik dalam dunia pendidikan hingga ke lini-lini sosial. Akibatnya, aneka paham masuk tanpa kendali, yang kemudian memberangus rasa nasionalisme.
Sosialisasi Pancasila secara masif kepada masyarakat, seperti program penataran Pancasila, yang dianggap sebagai program rezim Orba dan harus ditinggalkan. Padahal, bukan itu. Penataran Pancasila tetap dibutuhkan, tetapi konsepnya diubah dan dilepaskan dari kepentingan golongan dan praktik politik.
Untuk mengembalikan roh Pancasila ke dalam negara dan bangsa, memang dibutuhkan upaya massif dari semua kalangan, termasuk dari para politisi. Para politisi, terutama yang duduk di parlemen, harus bisa menghasilkan peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan nilai dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila.
Pancasila adalah identitas ke-Indonesiaan. Agama di Indonesia bisa tetap berjalan berdasar Pancasila dan keduanya tidak boleh saling bertentangan. Karena itu, nilai Pancasila pun harus bisa tertuang dalam pengamalan keagamaan.
Namun tidak dipungkiri bahwa pragmatisme sebagai dampak dari derasnya pengaruh asing telah mendegradasi nilai-nilai yang seharusnya melekat erat antara agama dan Pancasila. Hal itu membuat basis-basis keagamaan dijadikan dalil untuk memperoleh keuntungan pragmatis.
Kesadaran akan pentingnya Pancasila di kalangan masyarakat sebagai dasar negara semakin dirasakan oleh bangsa Indonesia. Pasalnya, Pancasila memiliki nilai-nilai universal yang melingkupi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan nilai-nilai universal agama-agama yang ada.
Meski demikian saat ini sempat terjadi penurunan terhadap pengamalam dan pemahaman Pancasila sebagai dasar negara karena dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pada masa Orde Baru Pancasila secara politik digunakan sebagai alat untuk melakukan doktrinisasi dan stigmatisasi oleh kelompok-kelompok tertentu.
Pada saat Orba terjadi semacam penolakan terhadap Pancasila, karena ada upaya yang mau menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang ada di Indonesia. Lalu, ada tantangan yang berhubungan dengan globalisme berhubungan dengan paham-paham serta ideologi politik yang mulai bertentangan dengan Pancasila. Paham-paham itu berakar pada agama atau ideologi tertentu. Saat ini ada kesadaran baru terkait praktik penyelenggaraan negara yang mulai bertentangan dengan Pancasila, misalnya soal kesenjangan sosial yang semakin lebar.
Pancasila memiliki dua hakekat, yakni sebagai filsafat dasar dan pandangan hidup. Secara filsafat, Pancasila merupakan sistem pemikiran sistematik, rasional, dan universal. Sebagai pandangan hidup, Pancasila itu praktik laku hidup. Nilai-nilai Pancasila didarahi, dijalankan, dan menjadi pendirian hidup.
Selama ini, Pancasila belum mengakar hingga ke tingkat terdalam pikiran masyarakat Indonesia. Pengembangan serta sosialisasi Pancasila hanya berhenti pada hapalan dan formalisme. Artinya, masyarakat tidak didorong untuk bertindak berdasarkan sikap Pancasila. Kelemahan ini terjadi dimulai penyelenggara negara sendiri. Pancasila ditatarkan ke rakyat, tapi tidak ke elite dan para pengambil keputusan.
Dia menyatakan, gotong royong adalah inti dari Pancasila. Tetapi, apakah sekolah-sekolah kita mengajarkan gotong royong atau tidak? Apakah ada tradisi saling menghargai antar pengikut agama yang berbeda di sekolah? Praktik seperti ini tidak dijalankan.
Kita juga mengamati kehidupan partai politik (parpol) juga jauh dari semangat gotong royong. Justru di internal parpol saling jegal menjegal demi kepentingan pragmatis. Bahkan, setelah Era Reformasi muncul kealergian dalam menyebut Pancasila.
Pancasila dihilangkan dari kurikulum sekolah. Pasokan nilai-nilai norma kepada siswa dan siswi dimonopoli agama yang partikular. Ada kekosongan nilai publik. Sementara, kebebasan dipacu dengan majunya globalisasi. Dulu, ada penyaring meski ada ajaran agama dari Timur Tengah dan Romawi, tetapi selalu ada penyaring kultural di sini sebelum diajarkan. Sekarang, semua bisa langsung terekspose melalui Teknologi.
Negara tidak aktif membumikan Pancasila se usai era Orde Baru. Di satu sisi, ada trauma terhadap sistem pembelajaran Pancasila pada era Orde baru, namun di sisi lain tidak ada usaha apa-apa untuk membumikan Pancasila saat ini.
Sosialisasi dari MPR hanya bagi-bagi anggaran secara sporadis. Ini lebih buruk dari Orde Baru. Meski orang mengkritik Orde Baru, tetapi setidaknya dulu ada usaha serius untuk melakukan penataran Pancasila,” tuturnya.
Sebagai negara Pancasila, seharusnya bangsa Indonesia sudah tidak lagi berkutat pada perbedaan SARA. “Saya kira, seluruh elemen masyarakat harus memulai upaya membumikan nilai-nilai luhur Pancasila kepada komunitas para pemuda sebagai pandangan hidup dalam menghadapi pergeseran sosial dan budaya. Dalam hal ini, para pemuda membutuhkan kesuritauladanan dari para senior (tokoh dan pemimpin).
Keteladanan itu terutama pada bidang etika moral, termasuk sosial, budaya, dan politik yang santun, berprestasi, memiliki etos kerja tinggi dan kepemimpinan yang bermartabat.
Siapa pun berhak menjadi pemimpin di negeri ini, asalkan orang tersebut benar-benar sadar akan keberadaan, tanggung jawab, dan posisinya. Pribadi tersebut harus yang mencintai Indonesia dan mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Artinya para pemimpin, baik di tingkat lokal maupun nasional, harus mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat yang ada di wilayah kepemimpinannya. Spiritualitas itu yang harus ada dalam diri para pemimpin, sehingga setiap orang berhak menjadi pemimpin.
Sementara, Pancasila yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang digali dari kearifan bangsa Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negeri ini harus terus dijadikan panduan dalam kehidupan bernegara. Saat ini penghayatan dan pengamalan Pancasila memang mengalami degradasi.
Degradasi itu terjadi karena ketidakpahaman maksud dari hadirnya Pancasila. Kemudian, citra yang dibangun secara keliru oleh orang-orang yang menilai Pancasila hanya sebagai alat di masa Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan. Padahal, Pancasila saat itu diperalat oleh suatu rezim. Seharusnya, Pancasila dijadikan haluan untuk kepentingan bangsa dalam perjalanannya menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan masyarakat.
Isu SARA yang kerap muncul menjelang pemilu menunjukkan ketidakdewasaan orang-orang dalam berpolitik. Pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah, seharusnya bukan sekadar untuk perebutan kekuasaan tetapi untuk memperoleh kekuasaan yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pancasila yang telah disepakati menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia harus tetapi dijadikan pedoman, termasuk dalam memilih pemimpin. Menjadi keprihatinan kita bahwa saat ini muncul ideologi lain di sebagian kalangan yang ingin menggantikan Pancasila. Pemerintah dan masyarakat harus melakukan sesuatu untuk mencegah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar