PANCASILA DI ERA GLOBALISASI
(oleh : Mas Jay)
Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, dinilai telah melenceng jauh bahkan sudah tidak
sesuai dengan filosofi kenegaraan yang dibangun para pendiri bangsa. Pancasila
justru terpinggirkan oleh fragmatisme yang kian subur di masyarakat Indonesia.Indonesia
memang sedang mengalami degradasi nilai-nilai moral sekaligus mengalami krisis
keteladanan, yang sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam menghadapi serangan
globalisme.
Sebenarnya Indonesia punya senjata yang ampu
untuk mengadang segala serangan paham, baik liberalisme yang lebih menekankan
paham individualis maupun komunisme, yaitu Pancasila. Namun, sayangnya, bangsa ini lebih
senang meng-copy paste tradisi dari bangsa asing. Bahkan sejak Era Reformasi,
Pancasila tidak lagi mendapat tempat yang layak, baik dalam dunia pendidikan
hingga ke lini-lini sosial. Akibatnya, aneka paham masuk tanpa kendali, yang
kemudian memberangus rasa nasionalisme.
Sosialisasi Pancasila secara masif kepada
masyarakat, seperti program penataran Pancasila, yang dianggap sebagai program
rezim Orba dan harus ditinggalkan. Padahal, bukan itu. Penataran Pancasila
tetap dibutuhkan, tetapi konsepnya diubah dan dilepaskan dari kepentingan
golongan dan praktik politik.
Untuk mengembalikan roh Pancasila ke dalam
negara dan bangsa, memang dibutuhkan upaya massif dari semua kalangan, termasuk
dari para politisi. Para politisi, terutama yang duduk di parlemen, harus bisa
menghasilkan peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan nilai
dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila.
Pancasila adalah identitas ke-Indonesiaan.
Agama di Indonesia bisa tetap berjalan berdasar Pancasila dan keduanya tidak
boleh saling bertentangan. Karena itu, nilai Pancasila pun harus bisa tertuang
dalam pengamalan keagamaan.
Namun tidak dipungkiri bahwa pragmatisme
sebagai dampak dari derasnya pengaruh asing telah mendegradasi nilai-nilai yang
seharusnya melekat erat antara agama dan Pancasila. Hal itu membuat basis-basis
keagamaan dijadikan dalil untuk memperoleh keuntungan pragmatis.
Kesadaran akan pentingnya Pancasila di
kalangan masyarakat sebagai dasar negara semakin dirasakan oleh bangsa
Indonesia. Pasalnya, Pancasila memiliki nilai-nilai universal yang melingkupi
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan nilai-nilai universal agama-agama yang
ada.
Meski demikian saat ini sempat terjadi
penurunan terhadap pengamalam dan pemahaman Pancasila sebagai dasar negara
karena dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pada masa Orde Baru Pancasila secara
politik digunakan sebagai alat untuk melakukan doktrinisasi dan stigmatisasi
oleh kelompok-kelompok tertentu.
Pada saat Orba terjadi semacam penolakan
terhadap Pancasila, karena ada upaya yang mau menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas yang ada di Indonesia. Lalu, ada tantangan yang berhubungan
dengan globalisme berhubungan dengan paham-paham serta ideologi politik yang
mulai bertentangan dengan Pancasila. Paham-paham itu berakar pada agama atau
ideologi tertentu. Saat ini ada kesadaran baru terkait praktik penyelenggaraan
negara yang mulai bertentangan dengan Pancasila, misalnya soal kesenjangan
sosial yang semakin lebar.
Pancasila memiliki dua hakekat, yakni sebagai
filsafat dasar dan pandangan hidup. Secara filsafat, Pancasila merupakan sistem
pemikiran sistematik, rasional, dan universal. Sebagai pandangan hidup,
Pancasila itu praktik laku hidup. Nilai-nilai Pancasila didarahi, dijalankan,
dan menjadi pendirian hidup.
Selama ini, Pancasila belum mengakar hingga
ke tingkat terdalam pikiran masyarakat Indonesia. Pengembangan serta
sosialisasi Pancasila hanya berhenti pada hapalan dan formalisme. Artinya,
masyarakat tidak didorong untuk bertindak berdasarkan sikap Pancasila. Kelemahan
ini terjadi dimulai penyelenggara negara sendiri. Pancasila ditatarkan ke
rakyat, tapi tidak ke elite dan para pengambil keputusan.
Dia menyatakan, gotong royong adalah inti
dari Pancasila. Tetapi, apakah sekolah-sekolah kita mengajarkan gotong royong
atau tidak? Apakah ada tradisi saling menghargai antar pengikut agama yang
berbeda di sekolah? Praktik seperti ini tidak dijalankan.
Kita juga mengamati kehidupan partai politik
(parpol) juga jauh dari semangat gotong royong. Justru di internal parpol
saling jegal menjegal demi kepentingan pragmatis. Bahkan, setelah Era Reformasi
muncul kealergian dalam menyebut Pancasila.
Pancasila dihilangkan dari kurikulum sekolah.
Pasokan nilai-nilai norma kepada siswa dan siswi dimonopoli agama yang
partikular. Ada kekosongan nilai publik. Sementara, kebebasan dipacu dengan
majunya globalisasi. Dulu, ada penyaring meski ada ajaran agama dari Timur
Tengah dan Romawi, tetapi selalu ada penyaring kultural di sini sebelum
diajarkan. Sekarang, semua bisa langsung terekspose melalui Teknologi.
Negara tidak aktif membumikan Pancasila se usai
era Orde Baru. Di satu sisi, ada trauma terhadap sistem pembelajaran Pancasila
pada era Orde baru, namun di sisi lain tidak ada usaha apa-apa untuk membumikan
Pancasila saat ini.
Sosialisasi dari MPR hanya bagi-bagi anggaran
secara sporadis. Ini lebih buruk dari Orde Baru. Meski orang mengkritik Orde
Baru, tetapi setidaknya dulu ada usaha serius untuk melakukan penataran
Pancasila,” tuturnya.
Sebagai negara Pancasila, seharusnya bangsa
Indonesia sudah tidak lagi berkutat pada perbedaan SARA. “Saya kira, seluruh
elemen masyarakat harus memulai upaya membumikan nilai-nilai luhur Pancasila
kepada komunitas para pemuda sebagai pandangan hidup dalam menghadapi
pergeseran sosial dan budaya. Dalam hal ini, para pemuda membutuhkan
kesuritauladanan dari para senior (tokoh dan pemimpin).
Keteladanan itu terutama pada bidang etika
moral, termasuk sosial, budaya, dan politik yang santun, berprestasi, memiliki
etos kerja tinggi dan kepemimpinan yang bermartabat.
Siapa pun berhak menjadi pemimpin di negeri
ini, asalkan orang tersebut benar-benar sadar akan keberadaan, tanggung jawab,
dan posisinya. Pribadi tersebut harus yang mencintai Indonesia dan mengupayakan
kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Artinya para pemimpin, baik di tingkat lokal
maupun nasional, harus mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat yang ada di
wilayah kepemimpinannya. Spiritualitas itu yang harus ada dalam diri para
pemimpin, sehingga setiap orang berhak menjadi pemimpin.
Sementara, Pancasila yang merupakan
kristalisasi dari nilai-nilai yang digali dari kearifan bangsa Indonesia yang
dirumuskan oleh para pendiri negeri ini harus terus dijadikan panduan dalam
kehidupan bernegara. Saat ini penghayatan dan pengamalan Pancasila memang
mengalami degradasi.
Degradasi itu terjadi karena ketidakpahaman
maksud dari hadirnya Pancasila. Kemudian, citra yang dibangun secara keliru
oleh orang-orang yang menilai Pancasila hanya sebagai alat di masa Orde Baru
untuk mempertahankan kekuasaan. Padahal, Pancasila saat itu diperalat oleh
suatu rezim. Seharusnya, Pancasila dijadikan haluan untuk kepentingan bangsa
dalam perjalanannya menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan
masyarakat.
Isu SARA yang kerap muncul menjelang pemilu
menunjukkan ketidakdewasaan orang-orang dalam berpolitik. Pemilu, termasuk
pemilihan kepala daerah, seharusnya bukan sekadar untuk perebutan kekuasaan
tetapi untuk memperoleh kekuasaan yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pancasila yang telah disepakati menjadi
falsafah hidup bangsa Indonesia harus tetapi dijadikan pedoman, termasuk dalam
memilih pemimpin. Menjadi keprihatinan kita bahwa saat ini muncul ideologi lain
di sebagian kalangan yang ingin menggantikan Pancasila. Pemerintah dan
masyarakat harus melakukan sesuatu untuk mencegah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar