Rabu, 28 Maret 2018

KEBIJAKAN YANG TIDAK BIJAK


Oleh : Mas Jay
Kenyataan pahit dalam hidup sebagai bangsa di alam mencekam ini. Salah satu contoh adalah, membiarkan becak menghalangi lalu lintas jalan raya yang sangat penuh dengan kendaraan bermotor pada waktu tertentu, ini adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Berapa banyak pemerintah daerah yang berani melarang becak berlalu lalang menyumbat kendaraan bermotor di jalan raya kota. Orang dapat saja mengatakan, kalau becak dilarang lewat di jalan-jalan besar kita, mau di kemanakan para pengemudinya yang lalu jadi pengangguran. Memang ini adalah kenyataan, tetapi mengambil kebijakan itu jelas akan menjadikan kita terpaksa berbuat “tidak bijaksana”. Dalam hal ini menjadi jelas bagi kita, bahwa kita pun dalam beberapa hal ”terpaksa” mengambil kebijakan yang tidak bijaksana selama ini. Ini harus disadari, dengan demikian akan ada kemungkinan “kebijakan yang tidak bijaksana” itu nantinya akan kita rubah juga. Tapi lain keadaanya jika kebijakan itu dipertahankan mati-matian, dan dibuat dengan segala upaya agar tampak bijaksana apapun alasannya. Itu jelas merupakan sesuatu yang akan merugikan pengambil kebijakan dalam jangka panjang.
Kebijakan demi kebijakan yang hanya bersifat tambal sulam, dilaksanakan di hampir seluruh tanah air kita. Tidakkah mereka takut, akibat kebijakan itu melahirkan birokrasi dan aparat keamanan dan pertahanan yang sekarang menjadi ekstra kuat, pada akhirnya hanya akan menghadapi dua pilihan rumit: terus menjalankan pekerjaan, walau tidak sesuai dengan kebutuhan hidup atau menuruti segelintir orang yang menjadikan diri mereka para penjaga ”preman preman besar” yang menguasai kehidupan kawasan-kawasan mewah di daerah perkotaan kita.
Jelaslah dalam hal ini, bahwa kebijakan tambal sulam yang dilakukan pemerintah daerah dan pemerintah pusat sering kali tidak memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan kota-kota besar maupun kota-kota kecil kita. Ini terjadi karena berbagai keputusan yang diambil tidak memiliki perspektif jangka panjang yang baik. Karena KKN,  aparat pemerintahan juga tahu bahwa berbagai proyek yang diputuskan tidak akan memenuhi sasaran yang diharapkan, karena ”ritual kegagalan” itu menghantui kita semua dan membuat ketidak percayaan kepada pemerintah semakin menjadi.
Semua itu menunjuk kepada kenyataan pahit yaitu kehidupan ”orang-orang kecil” di kawasan kumuh perkotaan tidak dapat diatasi dengan proyek tambal sulam. Karenanya semua pihak baik pemerintah daerah maupun masyarakat setempat harus bersama-sama memecahkan masalah dasar yang dihadapi kaum miskin itu.  Hanya dengan menghilangkan sikap saling mencurigai antar kedua belah pihak, baru dapat diperoleh penyelesaian hakiki bagi kawasan kumuh di kota-kota kita dewasa ini. Ini memang tugas berat mengingat keberagaman kekuatan-kekuatan yang mencoba mengatasinya. Memang mudah bagi masing-masing pihak untuk menyatakan untuk ”membereskan” masalah yang dihadapi, tapi sulit menerapkan hal itu dalam kenyataan.
Akhir akhir ini muncul ungkapan agar pemerintah hadir pada berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Seberapa besar kehadiran itu diperlukan, tentu tergantung dari kondisinya di lapangan. Dalam hal menyangkut masalah yang berdampak luas dan bersifat strategis bagi kepentingan bangsa dan negara, demi menjaga stabilitas dan keadilan, pemerintah perlu hadir untuk memulihkan keadaan.
Di sinilah intervensi pemerintah diperlukan karena ada kondisi obyektif sesuai kebutuhan menjaga ketertiban, stabilitas dan keberlanjutan pembangunan. Intinya, secara obyektif intervensi pemerintah diperlukan mengatasi masalah, bukan menciptakan masalah. Bagaimana intervensi pemerintah di bidang ekonomi, apakah boleh atau tidak. Namun sepanjang tindakan intervensi yang dilakukan jangan  sampai menimbulkan masalah baru karena inti dari tindakan intervensi menyelesaikan masalah. Contoh paling sering kita lihat adalah ketika nilai tukar menguat atau sebaliknya, BI selalu melakukan intervensi moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi. Contoh lain ketika harga bahan pangan meningkat, demi menjaga stabilitas pasokan dan harga, pemerintah bisa membuka kran impor, melakukan operasi pasar dan bisa saja melakukan kontrol harga, Langkah ini juga ditujukan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Kebijakan tax amnesty juga dapat dipandang sebagai upaya melakukan intervensi fiskal untuk menciptakan tatanan kebijakan fiskal lebih meningkatkan pendapatan dari pajak dan mendorong repatriasi dan investasi. Jadi, kita tidak boleh bersikap hitam putih dalam melihat fenomena ekonomi. Banyak diantara kita “terkecoh” dengan dalil ekonomi pasar yang jargonnya paling kesohor adalah jangan ganggu kerjanya mekanisme pasar dengan berbagai bentuk intervensi pemerintah karena tindakan ini dapat menghambat pertumbuhan kegiatan ekonomi dan bisnis. Dalil bisa benar jika persaingan sempurna, tetapi pada dewasa ini persaingan yang sempurna itu tidak pernah ada sehingga berdasarkan pertimbangan obyektif, pemerintah harus melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Yang tidak boleh dilakukan bila tindakan intervensinya mengandung implikasi “ngrecokin” sehingga mendistorsi pasar. Karena itu, intervensi harus tepat sasaran dan momennya. Intervensi adalah hak diskresi pemerintah untuk melakukan tindakan ketika sistem ekonomi tidak mampu bekerja optimal karena di pasar terjadi distorsi dan gangguan. Ciri pasar yang mengalami distorsi antara lain terhambatnya proses supply chain dari pusat produksi menuju pusat distribusi akibat  monopoli, oligopoli atau kartel. Hal ini umumnya terjadi pada proyek-proyek bisnis yang membutuhkan pembiayaan besar, mempunyai imbal hasil yang rendah, investasinya berjangka panjang dan/atau berisiko tinggi, namun proyek tersebut memiliki economic outcomes yang tinggi. Contoh pada proyek pembangunan infrastruktur, industri strategis dan bersifat pionir, serta pembangunan sektor kemaritiman. Oleh sebab itu, jika kebijakan pemerintah lebih mendorong agar BUMN diprivatisasi adalah merupakan kebijakan yang tidak bijaksana dan bisa dikatakan inkonstitusional.
Lalu bagaimana jika intervensi pemerintah dikaitkan dengan kebijakan pemerintah tentang deregulasi? Jawabannya, intervensi pemerintah hakekatnya untuk mengatasi kondisi yang terjadi di masyarakat karena ada persoalan anomali, siklus bisnis yang sangat labil sehingga menimbulkan ketidakpastian berusaha. Dalam konteks ekonomi pasar, intervensi bersifat sementara sampai kondisi pergerakan ekonomi dan bisnis normal kembali. Artinya intervensi tersebut dilakukan untuk meredam siklus bisnis atau siklus ekonomi atau biasa disebut dengan tindakan yang bersifat contracyclical.
Konsep ini bagi yang bekerja BI dan kementrian keuangan sangat difahami dimana kedua lembaga tersebut sebagai pemegang otoritas/kendali kebijakan makro ekonomi. Namun konsep yang sama tidak selalu difahami oleh mereka yang bekerja di kementrian teknis lainnya di sektor ekonomi karena mereka lebih berorientasi sebagai pemegang otoritas perizinan dan regulasi teknis yang atas pelaksanaan kewenangannya tersebut mereka banyak sekali menerbitkan aturan yang adakalanya tumpang tindih, multi tafsir, baik yang dibuat pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Akibatnya mengganggu kepastian usaha dan high cost economy. Fenomena ini di respon pemerintah dengan menerbitkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi.
Penjelasan tersebut adalah yang membedakan antara intervensi pemerintah dengan deregulasi dan de birokratisasi. Pemerintah membutuhkan kedua instrumen kebijakan tersebut karena pemerintah memerlukan stabilitas perekonomian dan di sisi lain pemerintah juga butuh iklim berusaha yang kondusif agar kegiatan dan proses ekonomi di dalam negeri tidak banyak mengalami hambatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar